2.3 Hakikat Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia
Pendekatan dalam
pembelajaran mencakup hal yang luas dan menyeluruh. Syaifuddin Sagala (2005:
68) menyatakan bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan
ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu
satuan instruksional tertentu” . Karakteristik pendekatan pembelajaran dapat
berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi guru untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu, menentukan langkah yang akan dicapai mulai dari awal
hingga akhir, dengan tujuan agar mudah dalam memantau kinerja, serta menetapkan
kriteria dan standar sebagai tolak ukur pencapaian pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Hasil belajar
tidak dapat otomatis meningkat apabila hanya dengan memberikan intruksi kepada
siswa untuk melaksanakan aktivitas seperti membaca, demonstrasi atau pun
belajar dalam kelompok. Namun dengan
memberian kekuasaan penuh kepada siswa untuk mengembangkan pemikirannya
dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata,
maka pembelajaran akan lebih bermakna dan nyaman untuk diikuti oleh siswa,
sehingga akan terwujud hasil belajar yang optimal. Pembelajaran dengan
menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah pembelajaran matematika
dilakukan dengan mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan
kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan cara mereka
sendiri. Proses tersebut diawali dengan pemberian masalah yang sesuai dengan
kehidupan siswa (kontekstual) (Hadi, 2005). PMRI juga menuntut siswa untuk
aktif, dengan guru sebagai fasilitator pada proses pembelajaran.
Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education).RME didasarkan oleh pendapat
Freudenthal bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia dan siswa tidak
dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah ada (Hadi, 2005:
19). Di Indonesia, RME dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Penambahan kata “Indonesia” dilakukan untuk memberikan ciri yang
berbeda karena dikembangkan sesuai situasi dan kondisi serta konteks di
Indonesia (Siswono, 2006:2).
Dunia nyata pada
PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep
matematika.Menurut de Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep
matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut matematisasi
konseptual.Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam matematisasi,
yaitu vertikal dan horizontal.Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai
mencoba menguraikan masalah-masalah kontekstual dengan bahasa dan simbol yang
dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini
kemungkinan setiap siswa menggunakan cara yang berbeda dengan siswa lain.
Dengan kata lain matematisasi horisontal merupakan matematisasi masalah nyata
yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau
hal-hal yang dapat dipahami atau dibayangkan siswa (Amin, 2006:41). Sedangkan
matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali
pengetahuan yang telah diperoleh ke simbol matematika yang lebih abstrak,
hingga siswa sampai pada pengetahuan matematika formal (Amin, 2006:41).
PMRI didasarkan
pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan
RME (Realistic Mathematics Education).Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan
oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:
1)
Guided Reinvention (menemukan
kembali)/Progressif Mathematizing (matematisasi
progresif)
Prinsip PMRI
yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep
matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi
kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep
matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau
mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun
sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan
dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal.
Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan
rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan
dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2) Didactical
Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan
kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan,
yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus
diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu
permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses
matematisasi progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian
masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk
menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh.Oleh karena itu pada
PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk
pengetahuan mereka sendiri.
3) Self
Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara
pengetahuan informal dan formal dalam matematika.Siswa diberi kebebasan
membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang
diberikan.Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model
yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya
mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Berdasarkan prinsip di atas
pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
a) Penggunaan
konteks (The use of context)
Pembelajaran
diawali dengan penggunaan masalah nyata.Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya
berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa.
Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami
oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk
membangun konsep secara mandiri oleh siswa.Membangun konsep sendiri merupakan
prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan
anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang
diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
b) Penggunaan
model
Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model
dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu
sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika
informal ke matematika formal.
c) Penggunaan
produksi dan konstruksi siswa
Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi
penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada
pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing
siswa untuk menemukan konsep formal.
d) Interaktivitas
Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktifitas
siswa.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan
perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar
mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua
aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai
satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam
proses pembelajaran.
e) Jalinan
antar unit matematika
Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam
matematika.Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait.Pembelajaran
matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan
konsepnya.Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk
menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
Menurut Hobri
(2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan
pendekatan PMRI, yaitu:
a) Langkah
1: Memahami konteks
Pada awal
pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta
menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai
cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang
mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan
masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan
dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
b) Langkah
2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau
mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka
sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
c) Langkah
3: Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan
masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan
penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini
dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan
seperlunya (scaffolding)kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
d) Langkah
4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk
menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan
kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam
pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
e) Langkah
5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi
diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi
yang telah dipelajari.