Rabu, 16 Maret 2016

Pendekatan Matematika Realistik Indonesia






2.3 Hakikat Pendekatan Matematika Realistik Indonesia
Pendekatan dalam pembelajaran mencakup hal yang luas dan menyeluruh. Syaifuddin Sagala (2005: 68) menyatakan bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu” . Karakteristik pendekatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, menentukan langkah yang akan dicapai mulai dari awal hingga akhir, dengan tujuan agar mudah dalam memantau kinerja, serta menetapkan kriteria dan standar sebagai tolak ukur pencapaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
Hasil belajar tidak dapat otomatis meningkat apabila hanya dengan memberikan intruksi kepada siswa untuk melaksanakan aktivitas seperti membaca, demonstrasi atau pun belajar dalam kelompok. Namun dengan  memberian kekuasaan penuh kepada siswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan nyaman untuk diikuti oleh siswa, sehingga akan terwujud hasil belajar yang optimal. Pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah pembelajaran matematika dilakukan dengan mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Proses tersebut diawali dengan pemberian masalah yang sesuai dengan kehidupan siswa (kontekstual) (Hadi, 2005). PMRI juga menuntut siswa untuk aktif, dengan guru sebagai fasilitator pada proses pembelajaran.
Pendekatan Matematika Realistik Indonesia diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education).RME didasarkan oleh pendapat Freudenthal bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia dan siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah ada (Hadi, 2005: 19). Di Indonesia, RME dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Penambahan kata “Indonesia” dilakukan untuk memberikan ciri yang berbeda karena dikembangkan sesuai situasi dan kondisi serta konteks di Indonesia (Siswono, 2006:2).
Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika.Menurut de Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut matematisasi konseptual.Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam matematisasi, yaitu vertikal dan horizontal.Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mencoba menguraikan masalah-masalah kontekstual dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini kemungkinan setiap siswa menggunakan cara yang berbeda dengan siswa lain. Dengan kata lain matematisasi horisontal merupakan matematisasi masalah nyata yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau hal-hal yang dapat dipahami atau dibayangkan siswa (Amin, 2006:41). Sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh ke simbol matematika yang lebih abstrak, hingga siswa sampai pada pengetahuan matematika formal (Amin, 2006:41).
PMRI didasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan RME (Realistic Mathematics Education).Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:
1)     Guided Reinvention  (menemukan kembali)/Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2)     Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh.Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
3)     Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika.Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan.Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
a)     Penggunaan konteks (The use of context)
Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata.Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa.Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
b)     Penggunaan model
Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
c)     Penggunaan produksi dan konstruksi siswa
Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
d)     Interaktivitas
Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktifitas siswa.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.


e)     Jalinan antar unit matematika
Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika.Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait.Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya.Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
a)     Langkah 1: Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
b)     Langkah 2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan  permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
c)     Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding)kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
d)     Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
e)     Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.

1 komentar:

Rabu, 16 Maret 2016

Pendekatan Matematika Realistik Indonesia






2.3 Hakikat Pendekatan Matematika Realistik Indonesia
Pendekatan dalam pembelajaran mencakup hal yang luas dan menyeluruh. Syaifuddin Sagala (2005: 68) menyatakan bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu” . Karakteristik pendekatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, menentukan langkah yang akan dicapai mulai dari awal hingga akhir, dengan tujuan agar mudah dalam memantau kinerja, serta menetapkan kriteria dan standar sebagai tolak ukur pencapaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
Hasil belajar tidak dapat otomatis meningkat apabila hanya dengan memberikan intruksi kepada siswa untuk melaksanakan aktivitas seperti membaca, demonstrasi atau pun belajar dalam kelompok. Namun dengan  memberian kekuasaan penuh kepada siswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan nyaman untuk diikuti oleh siswa, sehingga akan terwujud hasil belajar yang optimal. Pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah pembelajaran matematika dilakukan dengan mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Proses tersebut diawali dengan pemberian masalah yang sesuai dengan kehidupan siswa (kontekstual) (Hadi, 2005). PMRI juga menuntut siswa untuk aktif, dengan guru sebagai fasilitator pada proses pembelajaran.
Pendekatan Matematika Realistik Indonesia diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education).RME didasarkan oleh pendapat Freudenthal bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia dan siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah ada (Hadi, 2005: 19). Di Indonesia, RME dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Penambahan kata “Indonesia” dilakukan untuk memberikan ciri yang berbeda karena dikembangkan sesuai situasi dan kondisi serta konteks di Indonesia (Siswono, 2006:2).
Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika.Menurut de Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut matematisasi konseptual.Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam matematisasi, yaitu vertikal dan horizontal.Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mencoba menguraikan masalah-masalah kontekstual dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini kemungkinan setiap siswa menggunakan cara yang berbeda dengan siswa lain. Dengan kata lain matematisasi horisontal merupakan matematisasi masalah nyata yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau hal-hal yang dapat dipahami atau dibayangkan siswa (Amin, 2006:41). Sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh ke simbol matematika yang lebih abstrak, hingga siswa sampai pada pengetahuan matematika formal (Amin, 2006:41).
PMRI didasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan RME (Realistic Mathematics Education).Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:
1)     Guided Reinvention  (menemukan kembali)/Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2)     Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh.Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
3)     Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika.Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan.Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
a)     Penggunaan konteks (The use of context)
Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata.Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa.Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
b)     Penggunaan model
Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
c)     Penggunaan produksi dan konstruksi siswa
Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
d)     Interaktivitas
Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktifitas siswa.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.


e)     Jalinan antar unit matematika
Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika.Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait.Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya.Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
a)     Langkah 1: Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
b)     Langkah 2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan  permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
c)     Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding)kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
d)     Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
e)     Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.

1 komentar: