Rabu, 16 Maret 2016

Pendekatan Matematika Realistik Indonesia






2.3 Hakikat Pendekatan Matematika Realistik Indonesia
Pendekatan dalam pembelajaran mencakup hal yang luas dan menyeluruh. Syaifuddin Sagala (2005: 68) menyatakan bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu” . Karakteristik pendekatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, menentukan langkah yang akan dicapai mulai dari awal hingga akhir, dengan tujuan agar mudah dalam memantau kinerja, serta menetapkan kriteria dan standar sebagai tolak ukur pencapaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
Hasil belajar tidak dapat otomatis meningkat apabila hanya dengan memberikan intruksi kepada siswa untuk melaksanakan aktivitas seperti membaca, demonstrasi atau pun belajar dalam kelompok. Namun dengan  memberian kekuasaan penuh kepada siswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan nyaman untuk diikuti oleh siswa, sehingga akan terwujud hasil belajar yang optimal. Pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah pembelajaran matematika dilakukan dengan mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Proses tersebut diawali dengan pemberian masalah yang sesuai dengan kehidupan siswa (kontekstual) (Hadi, 2005). PMRI juga menuntut siswa untuk aktif, dengan guru sebagai fasilitator pada proses pembelajaran.
Pendekatan Matematika Realistik Indonesia diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education).RME didasarkan oleh pendapat Freudenthal bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia dan siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah ada (Hadi, 2005: 19). Di Indonesia, RME dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Penambahan kata “Indonesia” dilakukan untuk memberikan ciri yang berbeda karena dikembangkan sesuai situasi dan kondisi serta konteks di Indonesia (Siswono, 2006:2).
Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika.Menurut de Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut matematisasi konseptual.Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam matematisasi, yaitu vertikal dan horizontal.Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mencoba menguraikan masalah-masalah kontekstual dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini kemungkinan setiap siswa menggunakan cara yang berbeda dengan siswa lain. Dengan kata lain matematisasi horisontal merupakan matematisasi masalah nyata yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau hal-hal yang dapat dipahami atau dibayangkan siswa (Amin, 2006:41). Sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh ke simbol matematika yang lebih abstrak, hingga siswa sampai pada pengetahuan matematika formal (Amin, 2006:41).
PMRI didasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan RME (Realistic Mathematics Education).Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:
1)     Guided Reinvention  (menemukan kembali)/Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2)     Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh.Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
3)     Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika.Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan.Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
a)     Penggunaan konteks (The use of context)
Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata.Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa.Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
b)     Penggunaan model
Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
c)     Penggunaan produksi dan konstruksi siswa
Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
d)     Interaktivitas
Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktifitas siswa.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.


e)     Jalinan antar unit matematika
Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika.Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait.Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya.Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
a)     Langkah 1: Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
b)     Langkah 2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan  permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
c)     Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding)kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
d)     Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
e)     Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.

Model Pembelajaran Whispering Sand





2.3 Hakikat Model Pembelajaran Whispering Sand

Kurikulum sekolah diberbagai negara pada akhir-akhir ini lebih memberikan tempat pada diberlakukannya paham konstuktivisme, dimana dalam proses pembelajaran siswa diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Artinya, siswa harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan belajar serta berkontribusi dalam membangun pengetahuan dasar yang telah dibawa/dimiliki peserta didik, serta bertanggung jawab terhadap apa yang kontruksikan (dalam Trianto:2012). Guru tidak lagi mendominasi proses pembelajaran dengan menyajikan pengetahuan dalam bentuk “siap” kepada siswa yang akan menerimanya dengan pasif.
Oleh karena itu proses belajar mengajar perlu berorientasi pada kebutuhan serta kemampuan siswa. Kegiatan yang dilaksanakan harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan  dan berguna bagi siswa. Guru perlu memberikan bermacam-macam situasi belajar yang merangsang siswa untuk mau belajar materi yang disajikan dan menyesuaikannya dengan kemampuan dan karakteristik siswa. Dengan demikian perlu kiranya disertakan beberapa landasan teori sebagai basis konseptual penyelenggaraan pengembangan model pembelajaran berbasis joyfull learning yang menjadi latar belakang penggunaan model Whispering Sand ”. Model pembelajaran ini disusun  secara apik untuk mengoptimalisasi unsur kognitif, afektif dan psikomotor siswa melalui permainan dan kerjasama tim.
Model pembelajaran “Wishpering Sand ” merupakan gabungan/kombinasi dari berbagai tekhnik pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Penggunaan model ini dengan melakukan permainan berbahan pasir atau bahan lain yang fungsinya sama dengan pasir. Bahan pembelajaran pasir digunakan untuk pertanyaan yang telah digunting dan disebar ke dalam pasir tersebut, sehingga siswa tertarik untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang ditemukannya. Model pembelajaran “Whispering Sand ” merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan melalui salah satu prinsip “Quantum Learning” yaitu bahwa belajar itu seharusnya menyenangkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan terbuka lebih lebar dan terekam dengan baik. Quantum Learning sendiri diartikan sebagai pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar kegiatan belajar mengajar. Strategi ini disusun  secara apik untuk mengoptimalisasi unsur kognitif, afektif dan psikomotorik siswa melalui permainan dan kerjasama tim.
Adapun teori-teori yang melandasi dari model pembelajaran “Whispering Sand ”  dapat diuraikan sebagai berikut:
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku dimana perubahan tingkah laku didapatkan dari suatu proses yang disebut belajar bermakna.   Agar terjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa maka konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Belajar bermakna merupakan  dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dalam Trianto, Dahar, 1988:137). Untuk membantu siswa mendapatkan pembelajaran bermakna untuk dirinya makanya sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.
Didalam proses belajar mengajar guru dapat menerapkan prinsip teori belajar bermakna dari Ausubel melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a)       Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) melalui tes awal, interview pertanyaan
b)       Memilih materi dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep mulai dengan contoh-contoh kongkrit, abstrak.
c)       Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi baru tersebut.
d)       Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan fokus pada hubungan yang ada.
              Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa/siswi harus menemukan dan mentransformasikan informasi komplek, mengecek informasi baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan menyesuaikannya apabila belum sesuai. (Nabisi Lapono Dkk, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008). Maka mereka harus memecahkan masalah, menemukan sendiri segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan ide-idenya. Konsep dasar belajar menurut teori belajar konstruktivisme adalah pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Salah satu prinsip yang paling penting dalam teori kontruktivisme adalah guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Peranan penting guru adalah menyediakan suasana dimana siswa membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya. Ciri-ciri Konstruktivisme diantaranya a) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, b). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, c). Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah,  d). Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar, e). Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dalam teori konstruktivisme peserta didik lebih didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi proses pembelajaran.
              Manusia adalah makhluk sosial, berbeda satu sama lainnya, namun dalam  kelangsungan hidupnya manusia saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai konsekuensinya, manusia harus saling berinteraksi satu sama lainnya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, bukan hanya interaksi antara siswa dengan guru. (Rusman:2011). Dengan terciptanya interaksi ini sumber belajar siswa bukan hanya guru dan buku ajar saja tetapi juga teman sebayanya.  “Pembelajaran kooperatif mengacu pada pengajaran di mana siswa berkerja sama dalam kelompok kecil (4 - 5 orang) saling membantu satu sama lain dalam belajar”. Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen. Heterogen dalam hal ini adalah heterogen dari segi  kemampuan akademik dan dari segi jenis kelamin.
Model pembelajaran Kooperatif (cooperatif learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang bermuara pada pendekatan konstruktivisme. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggungjawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu dan kelompok. Model pembelajaran ini berpandangan bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan teman sebayanya.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang didalamnya siswa bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan khusus atau menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan oleh guru. Dalam model pembelajaran ini nampak adanya komponen-komponen utama dari pembelajaran kooperatif  diantaranya: a). Pembelajaran kooperatif mengajak siswa belajar bersama-sama untuk menyelesaikaan tugas, memecahkan masalah, b). Pengaturan siswa dalam kelompok kecil yang heterogen menantang siswa untuk saling membantu, membagi tugas dan mendukung belajar teman lainnya dalam kelompok, c). adanya saling ketergantungan positif diantara anggota kelompok d). Perubahan rasa tanggung jawab untuk belajar dan bekerjasama, e). Terjadinya pemrosesan kelompok dalam belajar. Oleh karena itu tugas seorang guru adalah mengatur siswa kedalam kelompok-kelompok belajar yang benar-benar memahami 5 unsur dasar yang ada dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya :
1.     Saling Ketergantungan Positif (positif interdependence)Siswa harus merasa bahwa tergantung secara positif dan saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses. Dengan demikian sikap individual mereka haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan seperti dalam hal tujuan belajar, sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan.
2.     Interaksi langsung antar siswa (face to face interaction)Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi verbal antar siswa yang didukung saling ketergantungan positif. Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan lainnya dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah. Selain itu siswa juga harus mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara afektif.
3.     Pertangungjawaban individu (individual accaountability)Agar dapat menyubang, mendukung dan membantu sama lain  setiap siswa harus menguasai materi ajar. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari, memahami arti penting membaca peta lingkungan setempat kab/kota tempat tinggalnya.
4.     Keterampilan berinteraksi antar individu dan kelompokKeterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa harus dimotivasi untuk menggunakan keterampilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar.
5.     Keefektifan proses kelompok (Group processing)Siswa memproses keefektifan kelompok  belajar mereka dengan cara menjelaskan tindakan  mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak  dan membuat keputusan terhadap tindakan yang bisa dilanjutkan atau yang perlu dirubah. Fase-fase dalam proses ini meliputi umpan balik, refleksi dan peningkatan kualitas pembelajaran khususnya mata pelajaran IPS.


1.     Tahap-tahap Penerapan Model Pembelajaran Whispering Sand
            Enam  tahapan model pembelajaran Whispering Sand yang mengacu pada pembelajaran Kooperative  dalam pembelajaran IPS terangkum dalam tabel dibawah ini.
    Tabel : 2.1. Tabel Sintaks Model Pembelajaran Kooperative.
Tahapan
Prilaku Guru
Tahap1
Menyampaiakan tujuan dan memotivasi siswa.
Guru menggali informasi pengetahuan awal siswa  tentang pulau Bali yang berkaitan dengan materi/topik yang akan dipelajari. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar.
Tahap 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demontrasi atau melalui bahan bacaan.

Tahap 3
Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efesien.
Tahap 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru mermbimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Tahap 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Tahap 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
                                                                                                Rusman (2011)
          Belajar dengan menggunakan model pembelajaran Whispering Sand merupakan gabungan/kombinasi dari berbagai tehnik pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Penggunaan model ini dengan melakukan permainan berbahan pasir atau bahan lain yang fungsinya sama dengan pasir. Bahan pembelajaran pasir digunakan untuk pertanyaan yang telah digunting dan disebar ke dalam pasir tersebut, sehingga siswa tertarik untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang ditemukannya. Model pembelajaran “Wishpering Sand ” merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan melalui salah satu prinsip “Quantum Learning” yaitu bahwa belajar itu seharusnya mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan terbuka lebih lebar dan terekam dengan baik.

Model Pembelajaran Kooperatif tipe Creative Problem Solving





2.3 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif tipe Creative Problem Solving
Pembelajaran kooperatif (cooverative learning) sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Metode belajar yang menekankan belajar dalam kelompok heterogen saling membantu satu sama lain, bekerjasama menyelesaikan masalah, dan menyatukan pendapat untuk memperoleh keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual. Suyatno (2011;51) model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerjasama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inquiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri atas 4-5 orang, siswa heterogen(kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya, strata sosial, kemampuan dan ketidakmampuan. Ibrahim, (dalam Trianto 59; 2009). Model pembelajaran kooperatif   memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk saling bekerja, saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama dan melalui struktur penghargaan kooperatif serta belajar untuk menghargai satu sama lain. Terdapat tujuh hal yang berhubungan dengan pembelajaran kooperatif yaitu: tugas yang harus dipersiapkan, dibahas dan disimpulkan secara berkelompok, interaksi tatap muka dalam kelompok kecil, suasana bekerja sama dan saling membantu dalam setiap sekelompok, tanggung jawab setiap indivdu yang berarti bahwa keberhasilan kelompok tergantung pada pembelajaran tiap individu dalam kelompoknya, ketergantungan yang positif serta kelompok yang bersifat heterogen dan kemampuan berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.
Terdapat enam langkah utama didalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif yaitu; pembelajaran dimulai dari guru memyanpaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar, fase ini diikuti oleh penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokan kedalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan kepada siswa saat bekerja sama untuk meyelesaikan tugas. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari.

Keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif diantaranya; siswa tidak terlalu tergantung pada guru akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa yang lain. Mengembangkan kemampuan mengunkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata verbal dan membandingkan dengan ide-ide orang lain. Membantu anak untuk respek kepada orang lain dan menyadari segala keterbatasanya. Membantu memberdayakan semua siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. Suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan hasil belajar  sekaligus kemampuan sosial. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamanya sendiri dan menerima umpan balik. Meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Model pembelajaran kooperatif juga memiliki keterbatasan, diantaranya; (1) untuk memahami filosofi model pembelajaran kooperatif memang butuh waktu lama. Membutuhkan fasilitas alat dan bahan yang cukup memadai, (2) Saat diskusi kelas atau kelompok terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa lain menjadi pasif.
Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yaitu; hasil belajar  akademik, pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan baik siswa golongan bawah maupun golongan atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, memberi peluang kepada siswa untuk belajar saling menghargai satu sama lain meskipun dari berbagai latar belakang kondisi, pengembangan keterampilan sosial, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan berkolaborasi.
Begitu banyak keunggulan pembelajaran kooperatif, namun dalam pembelajaran kooperatif memiliki bnyak sekali tipe. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang merangsang kreatifitas dan proses nalar siswa adalah kooperatif tipe Creative Problem Solving . Model Creative Problem Solving pertamakali dikembangkan oleh Alex Osborn pendiri The Creative Education Foundation (CEF) dan co-founder of highly successful New York Advertising Agenncy . Pada tahun 1950-an Sidney Parnes bekerjasama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk menyempurnakan model ini. Sehingga model Creative Problem Solving ini juga dikenal dengan nama The Osborn-parnes Creative Problem Solving Models. Pada awalnya model ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggungjawab pekerjaannya, namun pada perkembangan selanjutnya model ini juga diterapkan pada dunia pendidikan.
Wiederhold (dalam Suyatno, 2011:37) mengungkapkan “Model pembelajaran problem solving merupakan model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tinggi”. Hal tersebut terjadi karena model pembelajaran problem solving memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk memecahkan masalah IPA dengan lebih kreatif. Salah satu pengembangan dari model pembelajaran ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe creative problem solving.
Pembelajaran creative problem solving merupakan suatu kegiatan yang didesain guru dalam rangka memberi tantangan kepada siswa melalui penugasan. Dimana peran guru untuk dapat memotivasi siswa agar mau menerima tantangan dan membimbing siswa dalam proses pemecahan masalah. Masalah yang diberikan kepada siswa harus masalah yang pemecahannya terjangkau oleh kemampuan siswa. Masalah di luar jangkauan kemampuan siswa dapat menurunkan motivasi siswa. Sesuai yang dijelaskan Karen (dalam Cahyono, 2009: 3) bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving  adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan ketrampilan memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan  Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan/permasalahan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya terutama dalam pemecahan permasalahan dalam pembelajaran IPA.
Masalah dalam IPA dapat dikatagorikan menjadi masalah-masalah yang sangat menarik untuk dipecahkan, karena pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang sifatnya berhubungan langsung dengan alam sekitar sehingga lebih menarik dan lebih memudahkan siswa untuk mencari tau atau menggali informasi untuk mernecahkan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. IPA yang disajikan kepada siswa yang berupa masalah akan memberikan motivasi kepada mereka untuk mempelajari pelajaran tersebut. Siswa akan merasa puas jika mereka dapat memecahkan masalah yang diberikan kepadanya.
Pemecahan masalah merupakan suatu proses bagi siswa untuk memecahkan soal-soal ataupun tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan melibatkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerima masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Krulik & Rudnick (Santyasa, 2005), bahwa Problem adalah suatu situasi yang tidak jelas jalan pemecahannya yang mengonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut. Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.
Menurut Polya (dalam Hudoyo, 2003;112), pemecahan masalah didefinisikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Ini berarti pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas tinggi dan merupakan suatu proses psikologi yang melibatkan tidak hanya sekedar mencari hasil dalam suatu percobaan, itu semua harus dilalui melalui proses-proses tertentu, yakni dan memahami masalah yang diberikan, merencanakan pemecahannya, menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan rencana pemecahannya kemudian memeriksa kembali hasil yang diperoleh sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Lebih jauh dikatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum IPA yang sangat penting, karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah.
Kemampuan memecahkan masalah secara kreatif harus dimiliki siswa, kemampuan tersebut akan terwujud jika guru mengajarkan bagaimana memecahkan masalah yang efektif. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses penyelesaian masalah yang diberikan dan menjadi terampil di dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesian dan mengorganisasikan keterampilan yang dimilikinya.
Menurut Polya ( dalam Hudoyo, 2003;77), dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah penting yang harus dilakukan yaitu (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua, dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Keempat tahap pemecahan dan Polya tersebut merupakan kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan.

a.     Ciri-ciri Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving
Ciri-ciri Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving menurut Engkoswara, (dalam ,Sudirman,1991;86), adalah sebagai berikut. (1) Adanya permasalahan yang dapat diajukan atau diberikan guru kepada siswa, dan siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri yang kemudian dijadikan pembahasan dan mencari pemecahannya sebagai kegiatan belajar siswa. (2) Permasalahan sesuai dengan topik atau pokok bahasan yang semestinya dipelajari. (3) mengingat masalah – masalah yang diajukan untuk dipecahkan siswa, hendaknya sederhana. (4) Masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, pernyataan, tujuan, garis-garis besar suatu topik. (5) Masalah-masalah yang dipecahkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa.

Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving merupakan variasi pembelajaran berbasis masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan focus pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, persentasi, dan diskusi. Pada dasarnya sintaks model pembelajaran kooperatif creative problem solving ini sama dengan sintaks pembelajaran berdasarkan masalah, hanya saja pada creative problem solving ini masalah yang disajikan telah disusun secara sistematik dan terorganisir. (Suyatno 2011;39) Ditambahkan Suyatno  kelebihan Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving yaitu; (1) Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan. (2) Berpikir dan bertindak kreatif. (3) Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis. (4) Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan. (5) Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan. (6) Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat. (7) Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan.

Rabu, 16 Maret 2016

Pendekatan Matematika Realistik Indonesia






2.3 Hakikat Pendekatan Matematika Realistik Indonesia
Pendekatan dalam pembelajaran mencakup hal yang luas dan menyeluruh. Syaifuddin Sagala (2005: 68) menyatakan bahwa, “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditcmpuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu” . Karakteristik pendekatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, menentukan langkah yang akan dicapai mulai dari awal hingga akhir, dengan tujuan agar mudah dalam memantau kinerja, serta menetapkan kriteria dan standar sebagai tolak ukur pencapaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
Hasil belajar tidak dapat otomatis meningkat apabila hanya dengan memberikan intruksi kepada siswa untuk melaksanakan aktivitas seperti membaca, demonstrasi atau pun belajar dalam kelompok. Namun dengan  memberian kekuasaan penuh kepada siswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan nyaman untuk diikuti oleh siswa, sehingga akan terwujud hasil belajar yang optimal. Pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah pembelajaran matematika dilakukan dengan mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Proses tersebut diawali dengan pemberian masalah yang sesuai dengan kehidupan siswa (kontekstual) (Hadi, 2005). PMRI juga menuntut siswa untuk aktif, dengan guru sebagai fasilitator pada proses pembelajaran.
Pendekatan Matematika Realistik Indonesia diadopsi dari RME (Realistic Mathematic Education).RME didasarkan oleh pendapat Freudenthal bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia dan siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah ada (Hadi, 2005: 19). Di Indonesia, RME dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Penambahan kata “Indonesia” dilakukan untuk memberikan ciri yang berbeda karena dikembangkan sesuai situasi dan kondisi serta konteks di Indonesia (Siswono, 2006:2).
Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal dalam pengembangan ide dan konsep matematika.Menurut de Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut matematisasi konseptual.Treffers (dalam Hadi, 2005:20) membedakan dua macam matematisasi, yaitu vertikal dan horizontal.Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mencoba menguraikan masalah-masalah kontekstual dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini kemungkinan setiap siswa menggunakan cara yang berbeda dengan siswa lain. Dengan kata lain matematisasi horisontal merupakan matematisasi masalah nyata yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau hal-hal yang dapat dipahami atau dibayangkan siswa (Amin, 2006:41). Sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh ke simbol matematika yang lebih abstrak, hingga siswa sampai pada pengetahuan matematika formal (Amin, 2006:41).
PMRI didasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan RME (Realistic Mathematics Education).Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip tersebut, yaitu:
1)     Guided Reinvention  (menemukan kembali)/Progressif Mathematizing (matematisasi progresif)
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2)     Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh.Oleh karena itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri.
3)     Self Developed Models (model yang dikembangkan sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan formal dalam matematika.Siswa diberi kebebasan membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan.Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
a)     Penggunaan konteks (The use of context)
Pembelajaran diawali dengan penggunaan masalah nyata.Masalah nyata yang dimaksud bukan hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun konsep secara mandiri oleh siswa.Membangun konsep sendiri merupakan prinsip utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
b)     Penggunaan model
Model yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika formal.
c)     Penggunaan produksi dan konstruksi siswa
Siswa diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep formal.
d)     Interaktivitas
Pembelajaran berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktifitas siswa.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses pembelajaran.


e)     Jalinan antar unit matematika
Hal yang penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika.Struktur dan konsep dalam matematika saling terkait.Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya.Oleh karena itu jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin, 2006:58).
Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
a)     Langkah 1: Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
b)     Langkah 2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan  permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
c)     Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding)kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
d)     Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
e)     Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.

Model Pembelajaran Whispering Sand





2.3 Hakikat Model Pembelajaran Whispering Sand

Kurikulum sekolah diberbagai negara pada akhir-akhir ini lebih memberikan tempat pada diberlakukannya paham konstuktivisme, dimana dalam proses pembelajaran siswa diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Artinya, siswa harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan belajar serta berkontribusi dalam membangun pengetahuan dasar yang telah dibawa/dimiliki peserta didik, serta bertanggung jawab terhadap apa yang kontruksikan (dalam Trianto:2012). Guru tidak lagi mendominasi proses pembelajaran dengan menyajikan pengetahuan dalam bentuk “siap” kepada siswa yang akan menerimanya dengan pasif.
Oleh karena itu proses belajar mengajar perlu berorientasi pada kebutuhan serta kemampuan siswa. Kegiatan yang dilaksanakan harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan  dan berguna bagi siswa. Guru perlu memberikan bermacam-macam situasi belajar yang merangsang siswa untuk mau belajar materi yang disajikan dan menyesuaikannya dengan kemampuan dan karakteristik siswa. Dengan demikian perlu kiranya disertakan beberapa landasan teori sebagai basis konseptual penyelenggaraan pengembangan model pembelajaran berbasis joyfull learning yang menjadi latar belakang penggunaan model Whispering Sand ”. Model pembelajaran ini disusun  secara apik untuk mengoptimalisasi unsur kognitif, afektif dan psikomotor siswa melalui permainan dan kerjasama tim.
Model pembelajaran “Wishpering Sand ” merupakan gabungan/kombinasi dari berbagai tekhnik pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Penggunaan model ini dengan melakukan permainan berbahan pasir atau bahan lain yang fungsinya sama dengan pasir. Bahan pembelajaran pasir digunakan untuk pertanyaan yang telah digunting dan disebar ke dalam pasir tersebut, sehingga siswa tertarik untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang ditemukannya. Model pembelajaran “Whispering Sand ” merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan melalui salah satu prinsip “Quantum Learning” yaitu bahwa belajar itu seharusnya menyenangkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan terbuka lebih lebar dan terekam dengan baik. Quantum Learning sendiri diartikan sebagai pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar kegiatan belajar mengajar. Strategi ini disusun  secara apik untuk mengoptimalisasi unsur kognitif, afektif dan psikomotorik siswa melalui permainan dan kerjasama tim.
Adapun teori-teori yang melandasi dari model pembelajaran “Whispering Sand ”  dapat diuraikan sebagai berikut:
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku dimana perubahan tingkah laku didapatkan dari suatu proses yang disebut belajar bermakna.   Agar terjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa maka konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Belajar bermakna merupakan  dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dalam Trianto, Dahar, 1988:137). Untuk membantu siswa mendapatkan pembelajaran bermakna untuk dirinya makanya sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.
Didalam proses belajar mengajar guru dapat menerapkan prinsip teori belajar bermakna dari Ausubel melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a)       Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) melalui tes awal, interview pertanyaan
b)       Memilih materi dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep mulai dengan contoh-contoh kongkrit, abstrak.
c)       Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi baru tersebut.
d)       Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan fokus pada hubungan yang ada.
              Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa/siswi harus menemukan dan mentransformasikan informasi komplek, mengecek informasi baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan menyesuaikannya apabila belum sesuai. (Nabisi Lapono Dkk, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008). Maka mereka harus memecahkan masalah, menemukan sendiri segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan ide-idenya. Konsep dasar belajar menurut teori belajar konstruktivisme adalah pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Salah satu prinsip yang paling penting dalam teori kontruktivisme adalah guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Peranan penting guru adalah menyediakan suasana dimana siswa membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya. Ciri-ciri Konstruktivisme diantaranya a) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, b). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, c). Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah,  d). Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar, e). Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dalam teori konstruktivisme peserta didik lebih didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi proses pembelajaran.
              Manusia adalah makhluk sosial, berbeda satu sama lainnya, namun dalam  kelangsungan hidupnya manusia saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai konsekuensinya, manusia harus saling berinteraksi satu sama lainnya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, bukan hanya interaksi antara siswa dengan guru. (Rusman:2011). Dengan terciptanya interaksi ini sumber belajar siswa bukan hanya guru dan buku ajar saja tetapi juga teman sebayanya.  “Pembelajaran kooperatif mengacu pada pengajaran di mana siswa berkerja sama dalam kelompok kecil (4 - 5 orang) saling membantu satu sama lain dalam belajar”. Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen. Heterogen dalam hal ini adalah heterogen dari segi  kemampuan akademik dan dari segi jenis kelamin.
Model pembelajaran Kooperatif (cooperatif learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang bermuara pada pendekatan konstruktivisme. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggungjawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu dan kelompok. Model pembelajaran ini berpandangan bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan teman sebayanya.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang didalamnya siswa bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan khusus atau menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan oleh guru. Dalam model pembelajaran ini nampak adanya komponen-komponen utama dari pembelajaran kooperatif  diantaranya: a). Pembelajaran kooperatif mengajak siswa belajar bersama-sama untuk menyelesaikaan tugas, memecahkan masalah, b). Pengaturan siswa dalam kelompok kecil yang heterogen menantang siswa untuk saling membantu, membagi tugas dan mendukung belajar teman lainnya dalam kelompok, c). adanya saling ketergantungan positif diantara anggota kelompok d). Perubahan rasa tanggung jawab untuk belajar dan bekerjasama, e). Terjadinya pemrosesan kelompok dalam belajar. Oleh karena itu tugas seorang guru adalah mengatur siswa kedalam kelompok-kelompok belajar yang benar-benar memahami 5 unsur dasar yang ada dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya :
1.     Saling Ketergantungan Positif (positif interdependence)Siswa harus merasa bahwa tergantung secara positif dan saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses. Dengan demikian sikap individual mereka haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan seperti dalam hal tujuan belajar, sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan.
2.     Interaksi langsung antar siswa (face to face interaction)Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi verbal antar siswa yang didukung saling ketergantungan positif. Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan lainnya dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah. Selain itu siswa juga harus mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara afektif.
3.     Pertangungjawaban individu (individual accaountability)Agar dapat menyubang, mendukung dan membantu sama lain  setiap siswa harus menguasai materi ajar. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari, memahami arti penting membaca peta lingkungan setempat kab/kota tempat tinggalnya.
4.     Keterampilan berinteraksi antar individu dan kelompokKeterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa harus dimotivasi untuk menggunakan keterampilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar.
5.     Keefektifan proses kelompok (Group processing)Siswa memproses keefektifan kelompok  belajar mereka dengan cara menjelaskan tindakan  mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak  dan membuat keputusan terhadap tindakan yang bisa dilanjutkan atau yang perlu dirubah. Fase-fase dalam proses ini meliputi umpan balik, refleksi dan peningkatan kualitas pembelajaran khususnya mata pelajaran IPS.


1.     Tahap-tahap Penerapan Model Pembelajaran Whispering Sand
            Enam  tahapan model pembelajaran Whispering Sand yang mengacu pada pembelajaran Kooperative  dalam pembelajaran IPS terangkum dalam tabel dibawah ini.
    Tabel : 2.1. Tabel Sintaks Model Pembelajaran Kooperative.
Tahapan
Prilaku Guru
Tahap1
Menyampaiakan tujuan dan memotivasi siswa.
Guru menggali informasi pengetahuan awal siswa  tentang pulau Bali yang berkaitan dengan materi/topik yang akan dipelajari. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar.
Tahap 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demontrasi atau melalui bahan bacaan.

Tahap 3
Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efesien.
Tahap 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru mermbimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Tahap 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Tahap 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
                                                                                                Rusman (2011)
          Belajar dengan menggunakan model pembelajaran Whispering Sand merupakan gabungan/kombinasi dari berbagai tehnik pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Penggunaan model ini dengan melakukan permainan berbahan pasir atau bahan lain yang fungsinya sama dengan pasir. Bahan pembelajaran pasir digunakan untuk pertanyaan yang telah digunting dan disebar ke dalam pasir tersebut, sehingga siswa tertarik untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang ditemukannya. Model pembelajaran “Wishpering Sand ” merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan melalui salah satu prinsip “Quantum Learning” yaitu bahwa belajar itu seharusnya mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan terbuka lebih lebar dan terekam dengan baik.

Model Pembelajaran Kooperatif tipe Creative Problem Solving





2.3 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif tipe Creative Problem Solving
Pembelajaran kooperatif (cooverative learning) sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Metode belajar yang menekankan belajar dalam kelompok heterogen saling membantu satu sama lain, bekerjasama menyelesaikan masalah, dan menyatukan pendapat untuk memperoleh keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual. Suyatno (2011;51) model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerjasama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inquiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri atas 4-5 orang, siswa heterogen(kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya, strata sosial, kemampuan dan ketidakmampuan. Ibrahim, (dalam Trianto 59; 2009). Model pembelajaran kooperatif   memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk saling bekerja, saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama dan melalui struktur penghargaan kooperatif serta belajar untuk menghargai satu sama lain. Terdapat tujuh hal yang berhubungan dengan pembelajaran kooperatif yaitu: tugas yang harus dipersiapkan, dibahas dan disimpulkan secara berkelompok, interaksi tatap muka dalam kelompok kecil, suasana bekerja sama dan saling membantu dalam setiap sekelompok, tanggung jawab setiap indivdu yang berarti bahwa keberhasilan kelompok tergantung pada pembelajaran tiap individu dalam kelompoknya, ketergantungan yang positif serta kelompok yang bersifat heterogen dan kemampuan berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.
Terdapat enam langkah utama didalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif yaitu; pembelajaran dimulai dari guru memyanpaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar, fase ini diikuti oleh penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokan kedalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan kepada siswa saat bekerja sama untuk meyelesaikan tugas. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari.

Keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif diantaranya; siswa tidak terlalu tergantung pada guru akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa yang lain. Mengembangkan kemampuan mengunkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata verbal dan membandingkan dengan ide-ide orang lain. Membantu anak untuk respek kepada orang lain dan menyadari segala keterbatasanya. Membantu memberdayakan semua siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. Suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan hasil belajar  sekaligus kemampuan sosial. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamanya sendiri dan menerima umpan balik. Meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Model pembelajaran kooperatif juga memiliki keterbatasan, diantaranya; (1) untuk memahami filosofi model pembelajaran kooperatif memang butuh waktu lama. Membutuhkan fasilitas alat dan bahan yang cukup memadai, (2) Saat diskusi kelas atau kelompok terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa lain menjadi pasif.
Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yaitu; hasil belajar  akademik, pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan baik siswa golongan bawah maupun golongan atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, memberi peluang kepada siswa untuk belajar saling menghargai satu sama lain meskipun dari berbagai latar belakang kondisi, pengembangan keterampilan sosial, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan berkolaborasi.
Begitu banyak keunggulan pembelajaran kooperatif, namun dalam pembelajaran kooperatif memiliki bnyak sekali tipe. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang merangsang kreatifitas dan proses nalar siswa adalah kooperatif tipe Creative Problem Solving . Model Creative Problem Solving pertamakali dikembangkan oleh Alex Osborn pendiri The Creative Education Foundation (CEF) dan co-founder of highly successful New York Advertising Agenncy . Pada tahun 1950-an Sidney Parnes bekerjasama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk menyempurnakan model ini. Sehingga model Creative Problem Solving ini juga dikenal dengan nama The Osborn-parnes Creative Problem Solving Models. Pada awalnya model ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggungjawab pekerjaannya, namun pada perkembangan selanjutnya model ini juga diterapkan pada dunia pendidikan.
Wiederhold (dalam Suyatno, 2011:37) mengungkapkan “Model pembelajaran problem solving merupakan model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tinggi”. Hal tersebut terjadi karena model pembelajaran problem solving memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk memecahkan masalah IPA dengan lebih kreatif. Salah satu pengembangan dari model pembelajaran ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe creative problem solving.
Pembelajaran creative problem solving merupakan suatu kegiatan yang didesain guru dalam rangka memberi tantangan kepada siswa melalui penugasan. Dimana peran guru untuk dapat memotivasi siswa agar mau menerima tantangan dan membimbing siswa dalam proses pemecahan masalah. Masalah yang diberikan kepada siswa harus masalah yang pemecahannya terjangkau oleh kemampuan siswa. Masalah di luar jangkauan kemampuan siswa dapat menurunkan motivasi siswa. Sesuai yang dijelaskan Karen (dalam Cahyono, 2009: 3) bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving  adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan ketrampilan memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan  Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan/permasalahan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya terutama dalam pemecahan permasalahan dalam pembelajaran IPA.
Masalah dalam IPA dapat dikatagorikan menjadi masalah-masalah yang sangat menarik untuk dipecahkan, karena pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang sifatnya berhubungan langsung dengan alam sekitar sehingga lebih menarik dan lebih memudahkan siswa untuk mencari tau atau menggali informasi untuk mernecahkan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. IPA yang disajikan kepada siswa yang berupa masalah akan memberikan motivasi kepada mereka untuk mempelajari pelajaran tersebut. Siswa akan merasa puas jika mereka dapat memecahkan masalah yang diberikan kepadanya.
Pemecahan masalah merupakan suatu proses bagi siswa untuk memecahkan soal-soal ataupun tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan melibatkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerima masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Krulik & Rudnick (Santyasa, 2005), bahwa Problem adalah suatu situasi yang tidak jelas jalan pemecahannya yang mengonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut. Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.
Menurut Polya (dalam Hudoyo, 2003;112), pemecahan masalah didefinisikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Ini berarti pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas tinggi dan merupakan suatu proses psikologi yang melibatkan tidak hanya sekedar mencari hasil dalam suatu percobaan, itu semua harus dilalui melalui proses-proses tertentu, yakni dan memahami masalah yang diberikan, merencanakan pemecahannya, menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan rencana pemecahannya kemudian memeriksa kembali hasil yang diperoleh sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Lebih jauh dikatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum IPA yang sangat penting, karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah.
Kemampuan memecahkan masalah secara kreatif harus dimiliki siswa, kemampuan tersebut akan terwujud jika guru mengajarkan bagaimana memecahkan masalah yang efektif. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami proses penyelesaian masalah yang diberikan dan menjadi terampil di dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesian dan mengorganisasikan keterampilan yang dimilikinya.
Menurut Polya ( dalam Hudoyo, 2003;77), dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah penting yang harus dilakukan yaitu (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua, dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Keempat tahap pemecahan dan Polya tersebut merupakan kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan.

a.     Ciri-ciri Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving
Ciri-ciri Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving menurut Engkoswara, (dalam ,Sudirman,1991;86), adalah sebagai berikut. (1) Adanya permasalahan yang dapat diajukan atau diberikan guru kepada siswa, dan siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri yang kemudian dijadikan pembahasan dan mencari pemecahannya sebagai kegiatan belajar siswa. (2) Permasalahan sesuai dengan topik atau pokok bahasan yang semestinya dipelajari. (3) mengingat masalah – masalah yang diajukan untuk dipecahkan siswa, hendaknya sederhana. (4) Masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, pernyataan, tujuan, garis-garis besar suatu topik. (5) Masalah-masalah yang dipecahkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa.

Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving merupakan variasi pembelajaran berbasis masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan focus pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, persentasi, dan diskusi. Pada dasarnya sintaks model pembelajaran kooperatif creative problem solving ini sama dengan sintaks pembelajaran berdasarkan masalah, hanya saja pada creative problem solving ini masalah yang disajikan telah disusun secara sistematik dan terorganisir. (Suyatno 2011;39) Ditambahkan Suyatno  kelebihan Model pembelajaran kooperatif tipe Creative Problem Solving yaitu; (1) Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan. (2) Berpikir dan bertindak kreatif. (3) Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis. (4) Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan. (5) Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan. (6) Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat. (7) Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan.